Menyikapi Hadits Lemah (bag.2) - Belajar Islam Ahlussunnah
Kamis, 24 Agustus 2023
Tambah Komentar
Artikel ini Lanjutan dari Mеnуіkарі Hаdіtѕ Lеmаh (bag.1). Jika Belum Membacanya , silakan klik dі Sіnі.
Pеnjеlаѕаn dаrі Ibnu Tаіmіуаh
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan , “Tidak ada satu pun ulama yang menyampaikan bolehnya mengakibatkan sesuatu yang wajib atau sunnah menurut hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu , maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (akad para ulama). Hal ini sama halnya sewaktu kita dihentikan mengharamkan sesuatu (dalam dilema aturan) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi kalau dikenali sesuatu itu terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan dikenali bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta , maka hadits tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta (baca: hadits maudhu’/palsu). Namun pantas dimengerti bahwa memotivasi sebuah amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari sebuah amalan yang buruk didukung dengan dalil lain (yang shahih) , bukan cuma dengan hadits yang tidak terperinci status keshahihannya.” [Majmu’ Al Fatawa , Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni , 1/ 251 , Darul Wafa’]
Ada dua point berharga yang bisa kita ambil dari penjelasan Syaikhul Islam di atas. Pertama , dilarang memakai hadits maudhu’ (hadits artifisial yang berisi perowi pendusta) dalam duduk perkara targib dan tarhib. Kedua , hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam bersedekah , hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih yang lain. Sehingga bahwasanya yang kita amalkan yakni hadits shahih dan bukan hadits dhoifnya.
Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan , “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if yang membicarakan persoalan fadhilah amal , maka hadits tersebut mampu diriwayatkan asalkan haditnys bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perowi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk berzakat , pen) tidak dimengerti ukuran pastinya. Oleh kesudahannya , jika dalam problem ukuran pahala diriwayatkan dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits yang dusta (hadits maudhu’) , maka hadits seperti ini tidak dibilang dusta. Oleh sebab itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya menawarkan dispensasi meriwayatkan hadits dhoif dalam duduk perkara fadhoil a’mal. Adapun bila suatu amalan dibilang sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata) , maka dia menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.”[Majmu’ Al Fatawa , 10/408-409]
Beliau menerangkan pula , “Jika hadits dho’if wacana fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan metode tertentu atau jumlah tertentu –seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau metode tertentu- ,maka hadits seperti ini dihentikan diamalkan. Karena sistem amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal ini berlawanan halnya kalau diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar kemudian ia menyebut “laa ilaha ilallah” ,
Beliau menjelaskan pula , “Jika hadits dho’if tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu –mirip disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau sistem tertentu- ,maka hadits seperti ini dilarang diamalkan. Karena sistem amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal ini berlainan halnya bila diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah” , maka pahalanya sekian dan sekian , maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan alasannya ini termasuk amalan yang dikerjakan di dikala pada umumnya orang sedang gegabah.”[Majmu’ Al Fatawa , 18/67]
Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat anggun dalam perkataan selanjutnya ,
. ِّيِعْرَّشلا ِليِلَّدلا ىَلَع ُفَّقَوَتَي ِباَقِعْلاَو ِباَوَّثلا ُريِداَقَم َوُهَو ِهِبِجوُم ُداَقِتْعا َّمُث ِباَبْحِتْساِلا يِف اَل ِبيِهْرَّتلاَو ِبيِغْرَّتلا يِف ِهِب ُلَمْعُيَو ىَوْرُي َباَبْلا اَذَه َّنَأ : ُلِصاَحْلاَف .
“Intinya , hadits dho’if bisa diriwayatkan namun dalam duduk perkara targhib dan tarhib saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya sebuah amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau balasan jelek dari sebuah amalan jelek , maka cukup dalil syar’i (yang shahih) yang jadi pegangan. ”[Majmu’ Al Fatawa , 18/68]
Sіkар уаng Lеbіh Hаtі-Hаtі
Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan secara mutlak kecuali jikalau ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk memotivasi pada kebaikan dan mengancam sebuah tindakan yang jelek bekerjsama sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pembahasan mengenai Mеnуіkарі Hаdіtѕ Lеmаh (bаg.2). Semoga bermanfaat.
Itulah informasi Islam yang bisa kami bagikan, semoga dapat bermanfaat dan bisa dibagikan kepada teman atau saudara kalian. Sumber http://islamypersona.blogspot.com/
![]() |
mеrеѕроn hаdіtѕ lеmаh |
Pеnjеlаѕаn dаrі Ibnu Tаіmіуаh
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan , “Tidak ada satu pun ulama yang menyampaikan bolehnya mengakibatkan sesuatu yang wajib atau sunnah menurut hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu , maka sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (akad para ulama). Hal ini sama halnya sewaktu kita dihentikan mengharamkan sesuatu (dalam dilema aturan) kecuali berdasarkan dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi kalau dikenali sesuatu itu terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan dikenali bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta , maka hadits tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam amalan kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta (baca: hadits maudhu’/palsu). Namun pantas dimengerti bahwa memotivasi sebuah amalan kebaikan atau menakuti-nakuti dari sebuah amalan yang buruk didukung dengan dalil lain (yang shahih) , bukan cuma dengan hadits yang tidak terperinci status keshahihannya.” [Majmu’ Al Fatawa , Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni , 1/ 251 , Darul Wafa’]
Ada dua point berharga yang bisa kita ambil dari penjelasan Syaikhul Islam di atas. Pertama , dilarang memakai hadits maudhu’ (hadits artifisial yang berisi perowi pendusta) dalam duduk perkara targib dan tarhib. Kedua , hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam bersedekah , hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih yang lain. Sehingga bahwasanya yang kita amalkan yakni hadits shahih dan bukan hadits dhoifnya.
Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan , “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i (dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if yang membicarakan persoalan fadhilah amal , maka hadits tersebut mampu diriwayatkan asalkan haditnys bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu perowi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk berzakat , pen) tidak dimengerti ukuran pastinya. Oleh kesudahannya , jika dalam problem ukuran pahala diriwayatkan dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits yang dusta (hadits maudhu’) , maka hadits seperti ini tidak dibilang dusta. Oleh sebab itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya menawarkan dispensasi meriwayatkan hadits dhoif dalam duduk perkara fadhoil a’mal. Adapun bila suatu amalan dibilang sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata) , maka dia menjauhkan diri darinya karena (takut pada) Allah.”[Majmu’ Al Fatawa , 10/408-409]
Beliau menerangkan pula , “Jika hadits dho’if wacana fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan metode tertentu atau jumlah tertentu –seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau metode tertentu- ,maka hadits seperti ini dihentikan diamalkan. Karena sistem amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal ini berlawanan halnya kalau diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar kemudian ia menyebut “laa ilaha ilallah” ,
Beliau menjelaskan pula , “Jika hadits dho’if tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau jumlah tertentu –mirip disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan tertentu atau sistem tertentu- ,maka hadits seperti ini dilarang diamalkan. Karena sistem amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan dalil syar’i. Hal ini berlainan halnya bila diriwayatkan suatu hadits yang mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha ilallah” , maka pahalanya sekian dan sekian , maka ini tidak mengapa. Karena yang namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan alasannya ini termasuk amalan yang dikerjakan di dikala pada umumnya orang sedang gegabah.”[Majmu’ Al Fatawa , 18/67]
Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang amat anggun dalam perkataan selanjutnya ,
. ِّيِعْرَّشلا ِليِلَّدلا ىَلَع ُفَّقَوَتَي ِباَقِعْلاَو ِباَوَّثلا ُريِداَقَم َوُهَو ِهِبِجوُم ُداَقِتْعا َّمُث ِباَبْحِتْساِلا يِف اَل ِبيِهْرَّتلاَو ِبيِغْرَّتلا يِف ِهِب ُلَمْعُيَو ىَوْرُي َباَبْلا اَذَه َّنَأ : ُلِصاَحْلاَف .
“Intinya , hadits dho’if bisa diriwayatkan namun dalam duduk perkara targhib dan tarhib saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk menyebutkan sunnahnya sebuah amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu pahala atau balasan jelek dari sebuah amalan jelek , maka cukup dalil syar’i (yang shahih) yang jadi pegangan. ”[Majmu’ Al Fatawa , 18/68]
Sіkар уаng Lеbіh Hаtі-Hаtі
Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan secara mutlak kecuali jikalau ingin dijelaskan dho’ifnya. Pendapat ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk memotivasi pada kebaikan dan mengancam sebuah tindakan yang jelek bekerjsama sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pembahasan mengenai Mеnуіkарі Hаdіtѕ Lеmаh (bаg.2). Semoga bermanfaat.
Pеnulіѕ: Muhаmmаd Abduh Tuаѕіkаl
Artіkеl muѕlіm.оr.іd (dеngаn ѕеdіkіt еdіtаn dаrі аdmіn blоg)
Belum ada Komentar untuk "Menyikapi Hadits Lemah (bag.2) - Belajar Islam Ahlussunnah"
Posting Komentar