Belajar Hadits 2 : Cara-Cara Para Ulama Dalam Menjaga Ilmu Hadits - Belajar Islam Ahlussunnah

Setelah membahas mengenai реrumраmааn-ungkараn іlmu hаdіtѕ secara ringkas , mari kita teruskan pembahasan mengenai саrа-саrа раrа ulаmа dаlаm mеnjаgа іlmu hаdіtѕ ini.

Cara-Cara Para Ulama Dalam Menjaga Ilmu Hadits
Cаrа-Cаrа Pаrа Ulаmа Dаlаm Mеnjаgа Ilmu Hаdіtѕ 


Bаgаіmаnа раrа ulаmа mеmbеlа hаdіtѕ Nаbі?

Sebelum kita mengkaji ilmu hadits , ada baiknya kita melihat bagaimana kesungguhan para ulama hadits dalam membela hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Para ulama sudah menyingsingkan lengan mereka bersungguh-sungguh membela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , mereka menilik sanad-sanad hadits dengan cara yaitu:

Pеrtаmа: Mеngеnаl ѕеjаrаh реrаwі hаdіtѕ

Maksudnya yaitu nama , kunyah , gelar , nisbat , tahun kelahiran dan ajal , guru-guru dan muridnya , kawasan-tempat yang dikunjunginya , dan lain sebagainya yang bekerjasama dengan sejarah perawi tersebut , sehingga dari sini dapat diketahui sanad yang bersambung dengan sanad yang tidak bersambung mirip mursal , mu’dlal , mu’allaq , munqathi’ dan dikenali pula perawi yang majhul ‘ain atau hal juga kedustaan seorang perawi. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata: "Ketika para perawi menggunakan dusta , maka kami gunakan sejarah untuk (menyelisik kedustaan) mereka."

‘Ufair bin Ma’dan Al kila’i berkata: "Datang kepada kami Umar bin Musa di kota Himish , lalu kami berkumpul kepadanya di masjid , maka ia berkata: "Haddatsana (sudah bercerita terhadap kami) syaikh kalian yang shalih , saat ia sudah banyak berkata demikian , aku berkata kepadanya: "Siapakah syaikh kami yang shalih itu , sebutkanlah namanya semoga kami mampu mengenalinya."

Ia berkata: "Khalid bin Ma’dan."

Aku berkata: "Tahun berapa engkau berjumpa dengannya ?"

Ia menjawab: "Tahun 108H."

Aku berkata: "Di mana engkau berjumpa dengannya ?"

Ia menjawab: "Di perang Armenia."

Aku berkata kepadanya: "Bertaqwalah engkau kepada Allah dan jangan berdusta!! Khalid bin Ma’dan wafat pada tahun 104H dan tadi engkau mengklaim bertemu dengannya pada tahun 108H , dan saya tambahkan lagi untukmu bahwa ia tidak pernah mengikuti perang Armenia , tetapi ia ikut perang melawan Romawi."

Abul Walid Ath Thayalisi berkata: "Aku menulis dari Amir bin Abi Amir Al Khozzaz , suatu hari ia berkata: "Haddatasana ‘Atha bin Abi Rabah."

Aku berkata kepadanya: "Tahun berapa engkau mendengar dari ‘Atha ?"

Ia menjawab: "Pada tahun 124H."

Aku berkata: "‘Atha meninggal antara tahun 110-119H."

Kеduа: Mеmеrіkѕа rіwауаt-rіwауаt уаng dіbаwа оlеh реrаwі dаn mеmbаndіngkаnnуа dеngаn реrаwі lаіn уаng tѕіԛаh (tеrреrсауа) bаіk dаrі ѕіѕі ѕаnаd mаuрun mаtаn

Dengan cara ini mampu dikenali kedlabitan (penguasaan) seorang perawi sehingga dapat divonis selaku perawi yang tsiqah atau bukan , dengan cara ini pula mampu diketahui jalan-jalan sebuah periwayatan dan matan-matannya sehingga dapat dibedakan antara riwayat yang shahih , hasan , dla’if , syadz , munkar , mudraj , juga dapat mengetahui illat (penyakit) yang mampu mempengaruhi keabsahan riwayatnya dan lain sebagainya. Di antara contohnya yakni:

Khalid bin Thaliq mengajukan pertanyaan kepada Syu’bah: “Wahai Abu Bistham , sampaikan kepadaku hadits Simak bin Harb mengenai emas dalam hadits ibnu Umar.”

Ia menjawab: “Semoga Allah meluruskanmu , hadits ini tidak ada yang meriwayatkannya secara marfu’ kecuali Simak.”

Khalid berkata: “Apakah engkau takut bila saya meriwayatkannya darimu ?”

Ia menjawab: “Tidak , akan tetapi Qatadah menyampaikan kepadaku dari Sa’id bin Musayyib dari ibnu Umar secara mauquf , dan Ayyub mengabarkan kepadaku dari Nafi’ dari ibnu Umar secara mauquf juga , demikian juga Dawud bin Abi Hindin menyampaikan kepadaku dari Sa’id bin Jubair secara mauquf juga , ternyata dimarfu’kan oleh Simak , makanya aku khawatir pada (riwayat)nya.”

Kisah ini menunjukkan bahwa para ulama hadits mengumpulkan semua jalan-jalan suatu hadits dan membandingkan satu sama yang lain dengan menyaksikan derajat ketsiqahan para perawi; mana yang lebih unggul dan mana yang tidak sehingga mampu dikenali penyelisihan seorang perawi dalam periwayatannya , dan ini sangat bermanfaat sekali untuk menyingkap illat (penyakit) suatu hadits dan kesalahan-kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits.

Yahya bin Ma’in pernah tiba kepada ‘Affan untuk mendengar kitab-kitab Hammad bin Salamah , kemudian ‘Affan berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak pernah mendengarnya dari seorangpun?”

Ia menjawab: “Ya , Aku mendengar dari tujuh belas orang dari Hammad bin Salamah.”

‘Affan berkata: “Demi Allah , aku tidak akan menyampaikannya kepadamu.”

Berkata Yahya: “Ia cuma mengharapkan dirham.” Lalu Yahya bin Ma’in pergi menuju Bashrah dan tiba kepada Musa bin Isma’il , Musa berkata kepadanya: “Apakah engkau tidak pernah mendengar kitab-kitabnya dari seorangpun?”

Yahya menjawab: “Aku mendengarnya dari tujuh belas orang dan engkau yang kedelapan belas.”

Ia berkata: “Apa yang engkau kerjakan dengan itu?”

Yahya menjawab: “Sesungguhnya Hammad bin Salamah kadang kala salah maka saya ingin membedakan antara kesalahannya dengan kesalahan orang lain , apabila aku melihat ashhabnya (para perawi yang sederajat dengannya) bersepakat pada sesuatu , aku mampu mengetahui bahwa kesalahan berasal dari Hammad , dan apabila mereka semua bersepakat meriwayatkan sesuatu darinya namun salah seorang perawi darinya menyalahi periwayatan perawi-perawi lain yang serupa-sama meriwayatkan dari Hammad , saya dapat mengetahui bahwa kesalahan itu dari perawi tersebut bukan dari Hammad , dengan cara itulah saya dapat membedakan kesalahan Hammad dengan kesalahan orang lain terhadap Hammad”.

Subhanallah ! demikianlah Allah mempertahankan agama ini dengan adanya para ulama yang amat semangat dalam menelusuri periwayatan hadits dan membedakan antara periwayatan yang benar dari periwayatan yang salah. Dengan mengumpulkan jalan-jalan hadits mampu dimengerti pula mutaba’ah dan syawahid serta kesalahan matan hadits yang bawakan oleh seorang perawi.

Kеtіgа: Mеrujuk buku аѕlі реrаwі hаdіtѕ

Cara ini dipakai oleh para hebat hadits untuk mengetahui kebenaran seorang perawi yang mengaku mendengar dari seorang syaikh , mereka meneliti dengan seksama buku asli perawi tersebut bahkan diperiksa juga kertasnya , tintanya dan tempat penulisannya. Zakaria bin Yahya Al Hulwani berkata: “Aku melihat Abu Dawud As Sijistani telah memberikan tanda terhadap hadits Ya’qub bin Kasib di punggung kitabnya , maka kami mengajukan pertanyaan mengapa ia melaksanakan itu?

Ia menjawab: “Kami menyaksikan di musnadnya hadits-hadits yang kami ingkari , kemudian kami meminta buku aslinya namun ia menolak , beberapa waktu kemudian ia mengeluarkan bukunya , ternyata kami dapati hadits-hadits tersebut tampak dirubah dengan (bukti) tinta yang masih gres yang tadinya hadits-hadits tersebut mursal tetapi ia menjadikannya musnad dan diberikan pemanis padanya.”

Kееmраt: Mеmеrіkѕа lаfаdz dаlаm mеnуаmраіkаn hаdіtѕ

Ketika menyampaikan hadits , para perawi menggunakan lafadz-lafadz sesuai dengan keadaan ia mengambil hadits tersebut , bila ia mendengar pribadi dari lisan syaikh atau syaikh yang membacakan kepadanya hadits , biasanya digunakan lafadz “Haddatsana” dan bila dibacakan oleh murid terhadap syaikh umumnya menggunakan “Akhbarona” atau “Anbaana” dan ini semua lafadz-lafadz yang memperlihatkan bahwa si perawi mendengar langsung dari Syaikh , dan ada juga lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan mendengar eksklusif atau tidak , seperti lafadz ‘an fulan (dari si fulan) atau qola fulan (berkata si fulan) , lafadz seperti ini mampu dihukumi bersambung dengan dua syarat:

1. Memungkinkan bertemunya perawi itu dengan syaikhnya , seperti ia satu zaman dengan syaikhnya dan lain-lain.

2. Perawi tersebut bukan mudallis.

Bila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi maka sanadnya dianggap tidak bersambung atau lemah.

Kеlіmа: Mеmеrіkѕа kеtѕіԛаhаn реrаwі-реrаwі hаdіtѕ

Pemeriksaan para perawi hadits berporos pada dua point penting yakni:

1. Kepribadian perawi dari sisi agama dan akhlaknya , atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan ‘adaalah (adil).

Perawi yang adil berdasarkan ungkapan mahir hadits yaitu seorang muslim , baligh dan bakir , selamat dari alasannya adalah-alasannya kefasiqan dan khowarim al muru’ah (budpekerti-budbahasa yang jelek). Dan sebab-sebab kefasiqan ada dua yakni maksiat dan bid’ah. Dan kefasiqan yang merusak seorang perawi yaitu fasiq karena maksiat (dosa besar) mirip minum arak , berzina , mencuri dan lain-lain.

Adapun bid’ah , para ulama berlainan pendapat dalam menyikapinya , diantara mereka ada yang menolak perawi ahlul bid’ah secara mutlak , dan diantara mereka ada yang menerimanya selama tidak menghalalkan dusta dan diantara mereka ada yang menunjukkan perincian-perincian tertentu seperti tidak menyeru kepada bid’ahnya , tidak meriwayatkan hadits yang mendukung bid’ahnya , dan lain-lain.

Namun bila kita amati secara cermat bahwa sifat perawi yang diterima adalah kejujuran perawi (tidak menghalalkan dusta) , amanah dan terpecaya agama dan akhlaknya. Dan bila kita periksa keadaan perawi-perawi yang melaksanakan bid’ah , banyak diantara mereka yang memiliki sifat demikian dan mereka melaksanakan bid’ah bukan karena sengaja melakukannya atau menganggapnya halal , akan tetapi karena adanya ta’wil (syubhat) sehingga periwayatannya diterima oleh para ulama , berlainan bila si perawi mengingkari perkara agama yang mutawatir dan bersifat pasti dalam agama (dlaruri) atau meyakini kebalikannya , maka perawi mirip ini wajib ditolak periwayatannya. Saya akan sebutkan beberapa perawi yang melaksanakan bid’ah tetapi diterima haditsnya:

Muhammad bin Rasyid , Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Tsiqah dan ia qadari (pengikut qadariyah).

Aban bin Taghlib , perawi yang tsiqah , dianggap tsiqah oleh imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in , dikatakan oleh ibnu ‘Adi: “Ekstrim dalam syi’ah”. Adz Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah yang ekstrim tetapi shaduq (sangat jujur) , maka untuk kita riwayatnya dan untuk dia kebid’ahannya”.

Abdurrazaq bin Hammam Ash Shan’ani tsiqah hafidz tetapi memiliki kepercayaan syi’ah. (syiah ia cuma sebatas mengunggulkan Ali dan mencela Mu'awiyah. bukan syiah rafidah yg mengkafirkan para shahabat)

Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad , dianggap tsiqah oleh ibnu Ma’in dan yang lain. Abu Dawud berkata: “Tsiqah menyeru terhadap aqidah murji’ah”.

Muhamad bin Imran Abu Abdillah Al Marzabani Al Katib shaduq tetapi ia mu’tazilah yang keras.

bersambung , In Sуаа Allаh
sumber : Tеlеgrаm ulumul Hаdіtѕ

Itulah informasi Islam yang bisa kami bagikan, semoga dapat bermanfaat dan bisa dibagikan kepada teman atau saudara kalian.
Sumber http://islamypersona.blogspot.com/

Belum ada Komentar untuk "Belajar Hadits 2 : Cara-Cara Para Ulama Dalam Menjaga Ilmu Hadits - Belajar Islam Ahlussunnah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan

Dapatkan Promonya

Iklan Bawah Artikel